Demi seluruh ciptaan dengan segala keindahannya, tidak ada satu hal pun yang batil dari semua yang ada di dunia. Aku, sebagaimana dirimu—mungkin, ingin memungut dan menyimpan beberapa bentuk keindahan itu. Lalu memajangnya di salah satu pojok ruangku, untuk ku nikmati dan ku bagi denganmu—barangkali kamu berminat.
Latar Belakang
Kata dengan segala rangkaiannya adalah satu ciptaan yang ajaib. Dia bisa serupa bunga mekar yang harum mewangi dan bikin perutmu dipenuhi kupu-kupu. Dia juga punya kemampuan mendorong orang-orang untuk berkembang lebih maju. Namun, kata-kata juga punya kemampuan untuk mengiris dan menorehkan luka. Yang paling ekstrem, dia bisa menjadi instrumen untuk mematikan kehidupan.
Mungkin karena itulah ayat kitab suci yang turun pertama kali adalah, “Iqra’. Bacalah.” Ini juga diulang di ayat ketiga surah tersebut. Sebuah seruan untuk ‘membaca’ dengan beragam spektrum pemaknaannya. Karena sifatnya adalah seruan yang tak terbatas ke satu kaum tertentu, maka boleh dibilang siapa saja punya bekal dasar untuk dapat melakukannya.
Yang menarik adalah di ayat kelima surah yang sama, dapat dimaknai secara berurutan dengan ayat pertama, ketiga, juga setelahnya. Terutama, ayat kesembilan, kesebelas, dan ketigabelas. (Disclaimer dulu, ini tentu saja hanya usaha memaknai secara pribadi. Ada kemungkinan kurang tepat bahkan cenderung salah. Jadi, feel free buat berdiskusi di kolom komentar.)
Di ayat kelima, melalui kata “‘allama”, bila dimaknai secara sederhana berarti, Tuhan mengajarkan kepada manusia (insan), ما ing barang (terhadap sesuatu hal), لم يعلم kang ora ngaweruhi sapa insan ing mā (yang tidak diketahui oleh manusia).
Ini memungkinkan untuk ditarik hubungan sebab akibat. Bahwasannya kita (insan) belajar untuk “iqra'”, ya membaca, meneliti, menelaah, dan seluruh pemaknaannya yang lain, sebagai sebuah sebab. Apabila itu terpenuhi, maka “‘ilm”. Suatu saat kita akan sampai pada pengetahuan sebagai sebuah akibat (mengetahui).
Lebih lanjut, seturut tiga ayat bernomor ganjil dari mulai ayat kesembilan, diawali dengan ارايت, anata ningali sopo siro, dan seterusnya. secara bahasa, makna dari penggalan awal ayat tersebut bisa berarti: bagaimana pendapatmu, atau apakah kamu tahu, dan seterusnya.
Ini menunjukkan bahwa, setelah beroleh pengetahuan, kita perlu menggunakannya sebagai sarana untuk mencerna maksud dari sesuatu hal dan menimbangnya dalam koridor merengkuh kebenaran. Dari situlah titik mula buat menapaki tangga kebijaksanaan. Di situlah kemudian ada titik temu antara potensi dari kata-kata dengan usaha ‘membaca’. Bahwa untuk dapat menggunakan kata-kata dengan bijak, perlu dibarengi dengan usaha ‘membaca’ yang terus menerus.
Rumusan Masalah
Dalam pada itu, penggunaan pendekataan sederhana yang cenderung religius semata disebabkan kedekatan dengan sumber referensi. Aku sendiri bukan—mungkin belum—orang yang amat taat dalam konteks beragama. Tapi, penggunaan referensi keagamaan sebagai fondasi berpikir dan praktik ilmiah misalnya, sah dilakukan bahkan memiliki cabang keilmuan tersendiri.
Perihal kedekatan dengan sumber referensi, akan ku ceritakan lain hari di satu tulisan tersendiri. Mungkin akan ku bahas pula tentang bagaimana pada prosesnya, hal tersebut membentuk dan memberi banyak pengaruh tentang cara pandangku terhadap pendidikan.
Pertanyaan pertama, mengapa kita sering menganggap remeh kegiatan membaca—dan menulis apabila mereka satu kesatuan? Aku sebenarnya enggan menggunakan kata ganti orang jamak karena terkesan menyimpulkan sesuatu hal secara menyeluruh, padahal tidak melampirkan data pendukung yang valid.
Tapi, lewat hangatnya isu pendidikan—yang basis utamanya baca tulis—yang baru-baru ini ramai dibahas, skor PISA, apalagi tingkat literasi, sepertinya sudah lebih dari cukup buat membenarkan saat menggunakan kata kita di pertanyaan tersebut.
Pertanyaan kedua, membaca yang benar itu bagaimana? Membaca, menurut beberapa keterangan yang telah ku kumpulkan, adalah sebuah keahlian. Sebagaimana halnya keahlian, dia perlu diasah dan digunakan secara berkelanjutan supaya tidak karatan.
Kemampuan membaca sangat diperlukan sebagai langkah awal buat memahami makna. Kalau hanya sekedar membaca, saya kira siapa saja yang tidak buta huruf juga bisa. Tapi, berapa banyak hal pernah kita baca atau coba baca dan tidak kita ketahui maknanya? Hanya baca lalu menguap begitu saja. Tidak singgah barang sebentar di pikiran, apalagi menetap lama di sanubari.
Aku lupa kapan tepatnya, kalau tidak salah saat itu aku membaca terjemahan Dostoyevsky berjudul “Catatan dari Bawah Tanah” terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Sejak aku membeli buku tersebut circa 2018, sampai sekarang aku belum pernah mengkhatamkannya. Memang, belum genap sepuluh kali dalam percobaanku buat membacanya sampai tuntas. Tapi, selalu mandek sebelum sampai separuh jumlah halaman. Perkaranya aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang ku baca. Lalu berhenti.
Selain membaca dalam konteks membaca sebuah teks, kita selalu melakukan kegiatan ini di kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam beribadah—mohon maaf ini secara Islam saja karena itu yang ku lakukan sehari-hari—kita membaca surah dari kitab suci. Rukuk, iktidal, sujud, duduk di antara dua sujud, tahiyyat, juga memiliki bacaannya sendiri-sendiri.
Tapi, aku masih mandek di hanya sekedar membacanya saja. Arti dari bacaan yang ku lantunkan aku belum tahu, apalagi memaknainya. Selain itu masih banyak lagi soal membaca dalam konteks yang lain. Hal tersebut praktis menimbulkan satu kegelisahan tersendiri.
Pertanyaan ketiga, bagaimana kemudian mengintegrasikan pengetahuan yang didapat dari beragam hal yang dibaca? Ini juga satu bentuk keahlian tersendiri. Bisa dibilang tingkat lanjut setelah membaca dan memahami. Kalau menggunakan kacamata taksonomi bloom—instrumen yang jadi bahan pergulatan bapak ibu pendidik—tahapannya sudah di level aplikasi sampai ke yang tertinggi yakni, kreasi.
Serangkaian hal tersebut saling berkaitan dan mestinya ditapaki dengan telaten secara berurutan. Satu demi satu. Tahap demi tahap.
Tujuan
Sekali waktu aku ditawari oleh Don Bernard tentang pembuatan blog. Aku yo gass no. Dibuatkan je. Kapan lagi, ya, kan? Much love, Don. Oh, ya, tentang Don Bernard ‘kan ku ceritakan lain kali kalau kita bertemu dan dikau bertanya tentang siapa dirinya. Yang jelas, dia orang yang liberal namun kadang-kadang agak moderat. Maksudku, dia orang yang punya skill meramaikan warung waktu dia jajan di luar.
Blog yang dibuatkan Don Bernard ini bakalan ku gunakan sebagai wadah latihan membaca dan menulis. Membaca karena kata kerja tersebut adalah bahan bakarnya menulis. Menulis karena, masa enggak?
Hahaha very unprofound lol. Intinya, aku menggunakan blog ini sebagai instrumen buat menjawab pertanyaanku sendiri. Tentu tidak serta merta. Tapi mengalir. Satu demi satu. Tahap demi tahap.
Secara garis besar, melalui RPJM (Rencana Penulisan Jangka Menengah) yang telah tersusun dan disahkan secara pribadi, aku akan mengunggah seminimalnya satu tulisan per bulan di blog ini. Isi tulisannya sendiri sepertinya kebanyakan tentang jurnal dan resensi buku.
Lantas keluaran apa yang ku harapkan? Setidaknya, aku punya artefak yang menyatakan eksistensiku. Aku juga punya ruangan untuk bermain sama kata-kata dengan segala keajaiban dan keindahannya. Dan yang tak kalah penting, aku akan menjawab dengan tangkas saat adik kecilku yang belum genap umur sepuluh tahun itu bertanya, “Ndak eMas hobine opo?”
Lain dari pada itu, keluaran lain yang diharapkan juga tercantum dalam RPJP (Rencana Penulisan Jangka Panjang). Tapi, tentu saja tidak akan ku beberkan di sini. Ya kali.
Lain-Lain
Last but not least, aku suka Kamen Rider. And what a coincidence, bisa diplesetkan jadi Kamen Reader. Menyenangkan sekali.
Walaupun aku nggak bertopeng dan tidak pula bisa henshin jadi kesatria baja dan melawan para monster, tapi, rasanya omoshiroi menggunakan pendekatan dari serial tersebut dalam mengarungi keseharian. Perubahan dan pertempuran. Hahaha yes, ikr. Tho it’s kinda weird, i embrace that side of my self—poin tersebut kita obrolkan saja lebih lanjut besok saat kita bertemu di keadaan yang santai.
Well, sepertinya apa-apa saja yang sekiranya perlu ku sampaikan di mukadimah ini telah tertuang. Terima kasih kamu sekalian yang sudah mampir dan menyempatkan baca. Selanjutnya maka, “Shukkou da!”
